HAK
PEKERJA JIKA TERJADI PHK
PHK merupakan momok bagi seorang
pekerja, terutama apabila ia tidak memiliki penghasilan sampingan untuk
menopang biaya hidup sehari-hari. Keputusan PHK ini akan semakin berdampak
buruk bagi kelangsungan hidup dan masa depan para pekerja dan keluarga jika ia kurang
memahami akan perlindungan hak-hak tenaga kerja dan apa hak pekerja jika
terjadi PHK.
Fakta tersebut mendasari penulis untuk
menyajikan uraian singkat mengenai: “APA YANG MENJADI HAK PEKERJA JIKA
TERJADI PHK dan APA YANG HARUS DILAKUKANNYA JIKA HAK NYA DILANGGAR”.
PENGERTIAN PHK
Pemutusan hubungan kerja adalah Pengakhiran Hubungan Kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/
pekerja dan pengusaha (UU No. 13 tahun 2003 pasal 1 angka 25).
PROSEDUR PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Sesuai amanat UU Ketenagakerjaan No. 13
tahun 2003, bahwa PHK merupakan hal yang sebisa mungkin tidak dilakukan
oleh pihak perusahaan. Rencana PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan
serikat pekerja atau dengan pekerja. Jika tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah
memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. (Pasal 151).
Pasal 153 UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun
2003, menetapkan larangan bagi pengusaha melakukan PHK dengan alasan:
- pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
- pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
- pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
- pekerja/buruh menikah;
- pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
- pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
- pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalamperjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
- karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
- pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
KEWAJIBAN PENGUSAHA LAKUKAN PEMBINAAN SEBELUM
LAKUKAN PHK
Pasal 6 Kepmenaker No. 150 tahun 2000 mengistruksikan
agar Pengusaha dengan segala daya upaya harus mengusahakan agar jangan
terjadi pemutusan hubungan kerja dengan melakukan pembinaan terhadap pekerja
dengan cara memberikan peringatan kepada pekerja baik lisan maupun tertulis
sebelum melakukan PHK;
Sejalan dengan itu, UU Ketenagakerjaan no. 13
tahun 2003 Pasal 161 juga menetapkan bahwa dalam hal pekerja melakukan
pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan PHK, setelah kepada
pekerja diberikan surat peringatan I, II dan III secara berturut-turut yang
masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan
sebagai upaya mendidik pekerja agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi
lain waktu 6 (enam) bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk
melakukan penilaian terhadap kinerja pekerja yang bersangkutan.
JENIS-JENIS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA & HAK
DARI PEKERJA
I.
HAK PEKERJA JIKA
TERJADI PHK
UU Ketenagakerjaan tahun 2003 menetapkan dalam
hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pekerja berhak atas:
1.
Pesangon (Pasal 156: 2):
- masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 bulan upah;
- masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 (dua) bulan upah;
- masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah;
- masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 (empat) bulan upah;
- masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 (lima) bulan upah;
- masa kerja 5tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 (enam) bulan upah;
- masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
- masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 (delapan) bulan upah;
- masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
2.
Uang
Penghargaan Masa Kerja / UPMK (Pasal 156: 2):
- masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 (dua) bulan upah;
- masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 (tiga) bulan upah;
- masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 (empat) bulan upah;
- masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 (lima) bulan upah;
- masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 (enam) bulan upah;
- masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
- masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 (delapan) bulan upah;
- masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
3.
Uang
Penggantian Hak Yang Seharusnya Diterima / UPH (Pasal 156: 4):
- cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
- biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ketempat dimana pekerja diterima bekerja;
- penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
- hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama
Perubahan perhitungan uang
pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak,
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas :
- upah pokok;
- segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja.
Dalam hal penghasilan pekerja
dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama
dengan 30 kali penghasilan sehari.
Dalam hal upah pekerja dibayarkan atas
dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan
sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas)
bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum
provinsi atau kabupaten/kota.
Dalam hal pekerjaan tergantung pada
keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah
sebulan dihitung dari upah ratarata 12 (dua belas) bulan terakhir.
II.
JENIS –JENIS
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Menurut UU No. 13 tahun 2003 mengenai
Ketenagakerjaan, pihak perusahaan dapat saja melakukan PHK dalam berbagai
kondisi seperti di bawah ini:
1.
Pekerja melakukan
kesalahan berat (Pasal 158 UU Ketenagakerjaan)
- melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
- memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
- mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
- melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
- menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
- membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
- dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
- dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
- membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
- melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
- Untuk menetapkan seorang pekerja melakukan kesalahan berat harus didukung bukti;
- pekerja tertangkap tangan;
- ada pengakuan dari pekerja yang bersangkutan; atau
- bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh minimal 2 (dua) orang saksi.
- Memperoleh UPH Pasal 156 ayat (4).
2. Pekerja ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha
- Pengadilan memutuskan pekerja bersalah atau setelah 6 (enam) bulan pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana.
- Jika pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
Hak Pekerja:
- Selama masa 6 bulan sejak pekerja ditahan, Pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja yang menjadi tanggungan pekerja:
- untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah
- untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
- untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
- untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
- Keluarga pekerja yang menjadi tanggungan adalah isteri/suami, anak atau orang yang sah menjadi tanggungan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
- b. Jika Pekerja di PHK maka Pengusaha wajib membayar kepada pekerja UPMK: 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan UPH Pasal 156 ayat (4).
3.
Pekerja
melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama
Perusahaan dapat melakukan PHK apabila pekerja
melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama (PKB). Akan tetapi sebelum mem-PHK, perusahaan wajib
memberikan surat peringatan secara 3 kali berturut-turut. Perusahaan juga dapat
menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran, dan untuk pelanggaran
tertentu, perusahaan bisa mengeluarkan SP 3 secara langsung atau langsung
memecat, sesuai ketentuan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Hak Pekerja:
-
Memperoleh Pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), UPMK sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan UPH Pasal 156 ayat (4).
4.
Perubahan
status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan
a.
Jika Pekerja tidak bersedia
melanjutkan hubungan kerja:
Pekerja berhak atas Pesangon: 1 (satu) kali
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), UMPK: 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3) dan UPH Pasal 156 ayat (4).
b.
Pengusaha tidak bersedia menerima
pekerja di perusahaannya:
Pekerja berhak atas Pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), UPMK: 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal
156 ayat (3), dan UPH Pasal 156 ayat (4).
5.
Perusahaan
tutup karena rugi secara terus menerus selama 2
(dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur)
Alasan penutupan perusahaan karena kerugian
harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah
diaudit oleh akuntan public
Hak Pekerja:
-
Pekerja berhak atas Pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), UPMK: 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan UPH Pasal 156 ayat (4).
6.
Perusahaan
melakukan efisiensi
Pekerja berhak atas Pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), UPMK: 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3) dan UPH Pasal 156 ayat (4).
7.
Perusahaan
pailit
Pekerja berhak atas Pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), UPMK sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan UPH Pasal 156 ayat (4).
8.
Pekerja
mangkir
Pekerja yang mangkir selama 5 (lima) hari
kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang
dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua)
kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena
dikualifikasikan mengundurkan diri.
Dipanggil secara patut artinya pekerja telah dipanggil secara
tertulis yang ditujukan pada alamat pekerja sebagaimana tercatat di perusahaan
berdasarkan laporan pekerja. Tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan
kedua paling sedikit 3 (tiga) hari kerja.
Hak Pekerja
-
Pekerja berhak menerima UPH Pasal 156
ayat (4) dan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
9.
Pekerja
mengundurkan diri
a.
Pekerja
mengundurkan diri atas kemauan sendiri (Pasal 162 UU No. 13/2003)
Pekerja memperoleh uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Jika tugas dan fungsinya tidak mewakili
kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima UPH Pasal 156 ayat (4),
diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Syarat pengundurkan diri:
a. mengajukan permohonan pengunduran diri
secara tertulis selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai
pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai
tanggal mulai pengunduran diri.
b.
Pekerja mengalami
sakit berkepanjangan (Pasal 172 UU No. 13/2003)
Pekerja yang mengalami cacat akibat kecelakaan
kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua
belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang
pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
c.
Pekerja
mengundurkan diri bukan atas kemauan sendiri (Pasal 169 UU No. 13/2003)
a.
Pengusaha menganiaya, menghina secara
kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b.
Pengusaha membujuk dan/atau menyuruh
pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;
tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
c.
Pengusaha tidak melakukan kewajiban
yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
d.
Pengusaha memerintahkan pekerja/buruh
untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
e.
Pengusaha memberikan pekerjaan yang
membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Pekerja berhak mendapat Pesangon 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), UPMK 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3),
dan UPH sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan
perbuatan sebagaimana yang diadukan Pekerja, maka pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dan pekerja yang bersangkutan tidak berhak atas uang
pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).
Pemutusan hubungan kerja yang tidak memenuhi
ketentuan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 batal demi hukum dan pengusaha
wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar
seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
LARANGAN
MELAKUKAN PHK
Pasal 153 UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003
menetetapkan bahwa Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan :
a.
pekerja/buruh berhalangan masuk kerja
karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua
belas) bulan secara terusmenerus;
b.
pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya
karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku;
c.
pekerja/buruh menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya;
d.
pekerja/buruh menikah;
e.
pekerja/buruh perempuan hamil,
melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.
pekerja/buruh mempunyai pertalian
darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan,
atau perjanjian kerja bersama;
g.
pekerja/buruh mendirikan, menjadi
anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh
melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di
dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang
diatur dalamperjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
h.
pekerja/buruh yang mengadukan
pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan
tindak pidana kejahatan;
i.
karena perbedaan paham, agama, aliran
politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status
perkawinan;
j.
pekerja/buruh dalam keadaan cacat
tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang
menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat
dipastikan.
k.
Pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud diatas batal demi hukum dan
pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA JIKA
HAK NYA DILANGGAR
Pekerja yang merasa hak nya dilanggar,
ia dapat melakukan upaya hukum:
-
Mengajukan gugatan ke Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
-
Memperjuangkan haknya melalui Komnas HAM
I.
GUGATAN KE
LEMBAGA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Penyelesaian Sengketa PHK diatur dalam UU PPHI
No.2 Tahun 2004.
Tahap Penyelesaian Perselisihan PHK sesuai UU
PPHI adalah:
1. Perundingan
Bipartit
2. Perundingan
Tripartit
3. Pengadilan
Hubungan Industrial
Ad.1. Perundingan Bipartit
Adalah perundingan antara pekerja atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
UUPHI mewajibkan penyelesaiannya penyelesaian
perselisihan diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara
musyawarah untuk mencapai mufakat antara Pekerja / Serikat Pekerja dengan
Perusahaan.
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal dimulainya perundingan salah satu pihak menolak untuk
berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan,
maka perundingan bipartite dianggap gagal dan salah satu atau kedua belah
pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada LPPHI setempat dengan
melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit
telah dilakukan.
Ad.2. Perundingan Tripartit
Adalah penyelesaian perselisihan
yang ditengahi oleh pihak ke tiga yang dipilih para pihak atau ditunjuk LPPHI.
1.
Mediasi yaitu penyelesaian perselisihan yg ditengahi
seorang atau lebih mediator.
Mediator adalah pegawai instansi pemerintah
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat
sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri
2.
Konsiliasi yaitu
penyelesaian perselisihan ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator.
Konsiliator adalah seorang atau lebih yang
memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri.
Ad.3. Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadilan Hubungan Industrial adalah
pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang
memeriksa, mengadili dan member putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
Gugatan atas pemutusan hubungan kerja, dapat
diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau
diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.
Gugatan diajukan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja
bekerja. Pengajuan gugatan harus dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi
atau konsiliasi;
PENDAMPINGAN HUKUM
Baik dalam proses
Bipartit hingga Penyelesaian melalui Pengadilan, Pekerja dapat didampingi Pengacara
II.
PEKERJA
MEMPERJUANGKAN HAK MELALUI KOMNAS HAM
Perselisihan sengketa ketenagakerjaan
tergolong sengketa publik yang dapat mengganggu ketertiban umum dan stabilitas
nasional sehingga peluang pengaduan pelanggaran hak buruh tersebut dapat disalurkan
ke Komisi Hak Asasi Manusia.
Dengan regulasi HAM yang ada di Indonesia
melalui Undang-Undang Hak Azasi Manusia Nomor 39 tahun 1999, juga memberi
peluang bagi para tenaga kerja dan dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai
pekerja.
Dalam ketentuan Pasal 89 ayat 3 sub h,
dikemukakan bahwa Komnas HAM dapat menyelesaikan dan memberi pendapat atau
sengketa publik terhadap pokok perkara buruh yang sudah disidangkan maupun yang
belum disidangkan.
Pasal 90 ayat 1 menetapkan bahwa setiap orang
atau kelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah
dilanggar dapat memajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis kepada
Komisi Nasional hak asasi manusia dan dikuatkan lagi dalam Bab VIII pasal 101
Undang Undang nomor 39 tahun 1999 bahwa lembaga Komnas HAM dapat menampung
seluruh Laporan masyarakat tentang terjadinya pelanggaran hak azasi manusia.
Demikianlah sekilas uraian mengenai Syarat
& Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja serta apa yang menjadi hak Pekerja jika
terjadi PHK dan apa yang harus dilakukannya jika hak nya dilanggar.
Mudah-mudahan dapat membantu para Pekerja Indonesai dalam memperjuangkan
Haknya. Salam Juang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar